Visitor

Tuhan

Menjadi manusia memang tidak pernah mudah. Kadang manusia bertanya, "Kenapa aku harus dilahirkan ke dunia ini, kemudian dihadapkan dengan bermacam-macam hal yang menyakiti hati kemudian dipaksa memilih surga yang nggak terlalu aku inginkan, tapi kalau nggak mau nanti aku bakal dijebloskan ke neraka, God is stupid!". Kadang juga ada yang membenci permainan tuhan yang seolah-olah menjadikan manusia hanya sebagai budak dan dolanan yang tanpa merasa berdosa mengatur kita menggunakan pena takdirnya sakarepe wudele dhewe. Atau justru ada dari para pembaca sekalian yang mungkin masih ragu dengan adanya dogma tuhan. Kenapa tuhan kok macem-macem. Islam bilang gini, Kristen gitu, yahudi apalagi, hindu, budha,, hehe,, banyak ya ternyata varian tuhan itu :P bahkan, yang paling keren adalah pertanyaan, "Sebenernya, tuhan itu eksis enggak sih??"..

Nah, miturut pengalaman pribadi saya, kebetulan saya dulu juga sering bertanya-tanya seperti itu. Kenapa banyak orang kok ya suka berdebat tentang tuhan-tuhan mereka berikut aksesoris sertaannya seperti: agama, kitab suci, hari raya keagamaan, dll. Memang sih, ada pernyataan bahwa tidak ada satupun bangsa di dunia yang terecord dalam sejarah yang tidak memiliki kepercayaan terhadap adanya sang pencipta. Siapa tau juga ada manusia yang balik ke masa lalu untuk menjadi "sang penerang" atau makhluk luar angkasa yang datang ke bumi untuk membentuk dan menurunkan "agama" buat manusia. So, finally,, secara logis, nggak ada satupun manusia yang ngerti tuhan itu ada apa enggak. Sebanyak tesa menyatakan kebenarannya, sebesar itulah anti-tesa menangguhkannya. Alhasil, sebuah sintesa baru menjadi perlanjutan dari sebuah mesin logika manusia.

Well, sebelumnya saya disini hanya ingin berbagi kepada pembaca budiman mengenai perjalanan hidup saya selama ini. Semua dimulai sejak saya masih duduk di akhir bangku SD,, sejak saya mengenal indahnya wanita buat pertama kalinya, semenjak itu pula saya mulai bertanya-tanya mengenai eksistensi tuhan. Otak saya waktu itu nggak nyampe buat mengerti, lha wong saya juga baru kelas 5 dab! :P Singkatnya, saya naik ke SMP,, Ketika SMP itulah saya mengenal ilmu alam. Bukan hanya pelajaran di sekolah yang enggak jelas buat apaan itu, tapi maksud saya bener-bener ilmu alam. Ilmu untuk berkomunikasi dengan alam. Saya mencoba untuk menenangkan diri dan berkali-kali menyatakan sebuah dogma kepada diri saya sendiri bahwa saya tidak bisa berbicara dengan alam,, Tidak dengan burung, tidak dengan tumbuhan, dan tidak dengan angin. Kenyataannya, saya malah jadi sering ditemui sosok orang tua, banaspati, pocong dan mbak kunti walau dalam pandangan yang samar-samar. Mungkin sebagian pembaca akan menyimpulkan saya kena penyakit aneh kayak ilmuwan di "the beautiful mind" itu, yang memiliki teman bayangan dan dijustifikasi oleh dokter mengalami kelainan memori dasar atau apalah namanya, yang bersamaan dengan kejadian-kejadian ajaib itu saya menjadi pribadi yang memiliki firasat tinggi. Entah kebetulan atau apa, saya merasa bisa mengerti bahasa burung pleci (sejenis varian walet) yang sering menghampiri saya waktu saya main di dekat atap rumah. Saya jadi mengerti bahasa alam yang terucap dalam hembusan angin, dan anehnya saya juga merasa bisa paham bahasa pohon. Hehehe,, ngayal betul saya ya :P tapi apakah ada yang bisa menjelaskan kenapa saya bisa selalu mendapatkan nilai diatas 96 tiap kali ujian fisika sejak SMP hanya dengan "kira-kira", yang saya sendiri tidak pernah melakukan hitungan, hanya ada kata "rasanya jawabannya sekitar sekian" dan saya tidak tahu darimana angka itu diperoleh? bahkan nilai fisika saya yang paling jelek adalah di essay, karena saya merasa ngerti jawabannya tapi nggak ngerti gimana cara memperolehnya? Gara-gara kemampuan itu, saya sering mendapat julukan "mbah dukun" karena bisa merasakan soal-soal fisika yang akan keluar dalam tiap ujian. Itu beneran nyata lho. hahaha.. Tapi kalau jelajah dimensi, saya belum bisa, sedangkan apabila jelajah waktu, ya kadang-kadang tok bisanya. Tapi teman-teman di sekitar saya memang ada yang bisa dua-duanya. Bahkan ada yang mampu jelajah sejarah, hanya dengan berjabat tangan saja mampu melihat kejadian yang diajak bersalaman sejak lahir hingga saat itu, termasuk ngerti nama lengkap beserta silsilahnya.

Hingga akhir SMP kehidupan saya ya cuman gitu-gitu thok. Pertanyaan mengenai eksistensi tuhan masih terkatung-katung nggak ada jawaban. Sejauh apapun saya mencari bukti bahwa tuhan itu ada, maka sejauh itu pulalah (bahkan lebih jauh sedikit) pernyataan bahwa "tuhan itu tidak mungkin eksis" semakin banyak bermunculan. Pada waktu itu saya sempat stres dan nggak mau melanjutkan ke SMA, namun ternyata, secara diam-diam saya didaftarkan ke SMA oleh ibu saya. Karena permintaan ibulah yang membuat saya bersedia melanjutkan SMA yang sampai sekarang juga saya nggak ngerti kenapa mencari ilmu harus lewat sekolah formal. Pada waktu SMA inilah saya menemukan jembatan penghubung kesadaran saya dalam mengenal sesuatu diluar kehidupan manusia.

Sambil mengikuti kegiatan persiapan olimpiade fisika, saya sebenernya juga diam-diam mempelajari ilmu fisika semendalam yang saya bisa untuk mencari penjelasan fenomena-fenomena diluar nalar yang sering saya alami tersebut. Saya mempelajari hukum termodinamika, relativitas, konsep gerakan, eksistensi materi, momentum dan lain-lain. Pokoknya yang fundamental dari fisika untuk menjelaskan dasar-dasar fenomena yang sering saya rasakan. Waktu itu saya sering bertanya-tanya, apakah jin (sebangsa kuntilanak, banaspati, yaitu kepala terbang yang terbakar api dan pocong) yang sering menjadikan saya sebagai objek aktivitas mereka itu benar-benar ada. Tetapi kok kalau mereka tidak ada barang-barang di rumah sering jatuh sendiri, buku tergeser sendiri, pintu suka membuka sendiri pelan-pelan sambil bergoyang-goyang padahal saya tidak merasa adanya perbedaan tekanan udara ataupun aliran udara di sekitar saya. "Ah, paling juga angin", dalam batin saya -mencoba berpositif thinking. Saya juga sering bertanya apakah saya hidup ini hanya sedang bermimpi, apakah materi itu ada, bahkan: apakah diri saya sendiri ini ada? Karena saya tidak puas dengan jawaban orang-orang sekitar yang saya anggap pintar, maka saya "mengundurkan diri" dengan cara menjelekkan nilai saya ketika saya hampir dikirim menjadi duta olimpiade fisika internasional (yang pada waktu itu diselenggarakan di taiwan). Saya memilih mundur dan mencari jawaban di rumah saja, karena bukan ketenaran atau uang hadiah yang banyak dari olimpiade fisika dunia yang saya cari selama ini. Saya akhirnya berkutat di seputar teori relativitas yang aneh bin ajaib (menurut pandangan saya waktu itu). Teori relatifitas adalah salah satu dari sedikit persepsi ilmuwan yang saya percayai sebagai sebuah "kebenaran" untuk membantu menjelaskan kepada saya mengenai sifat alam. Dengan konsep relatifitas einstein, reaksi nuklir dapat dikendalikan. (Alias minimal rumus einstein bisa terbukti agak empirik lah, hehe..) Inilah yang sedikit membuka paradigma saya mengenai hal-hal diluar indera (walau masih ada beribu pertanyaan yang masih tersisa diotak saya hingga saat ini)

Nah, dalam rumus einstein tersebut diterangkan bahwa dalam entitas alam semesta ini, terdapat sebuah nilai kali (bahasa jawanya: koefisien parameter Lorentz) yang berlaku untuk seluruh material yang bergerak yang dinamakan faktor gamma. Tentang nilainya silakan cari sendiri di mbah google, tapi intinya seperti ini: faktor gamma akan berpengaruh pada 3 elemen dasar alam semesta yaitu waktu, ruang dan massa newtonian (bukan massa kimiawi/jumlah partikel dalam sebuah zat lho yaa). Menurut cerita, secara sepintas fenomena gerak relativistik adalah seperti yang tergambar ini:

catatan awal: Faktor gamma (faktor lorentz) berasal dari kecepatan relatif. Nilainya selalu lebih besar atau sama dengan 1. Ketika benda diam maka nilai gamma adalah 1. Apabila benda bergerak 87% dari kecepatan cahaya mutlak (kecepatan cahaya bernilai 299.792.458,51 m/s menurut pengamat yang diam dan ini bukan diukur menggunakan alat ukur, namun muncul dari kalkulasi interaksi gelombang elektro-dan-magnetis menggunakan konstanta-konstanta alam) maka nilai faktor gamma sebesar 2; nilai faktor gamma akan naik menuju tak terhingga ketika benda memiliki kecepatan yang meningkat mendekati kecepatan cahaya. Kebetulan saya sempat browsing sehingga untuk jelasnya, silakan lihat saja ini: http://en.wikipedia.org/wiki/Lorentz_factor (lihat bagian grafik ekspansi gamma-nya di http://en.wikipedia.org/wiki/File:Lorentz_factor.svg) atau kalau link-nya susah dibuka, ketikkan aja di mbah google keyword "lorentz factor".

Implikasinya apa?
Sebelum menerangkan, saya menganggap asumsi saya ini "benar" karena perhitungan ini telah dibuktikan secara realistis dalam reaksi nuklir di seluruh dunia untuk mengendalikan waktu paruh uranium dan sifat-sifat radioaktif lainnya. (Lumayan ngerti sedikit lah, lha wong itu termasuk mata kuliah saya di kampus :P). Ketika terdapat benda bergerak dengan kecepatan sekitar 87% kecepatan cahaya teoritik, maka benda tersebut akan merasakan faktor gamma sebesar 2. Dengan faktor gamma sebesar itu, maka benda yang bergerak terhadap kita tersebut (kita: diam dan mengamati) akan mengalami penyusutan dimensi sebesar 2x; pelemotan waktu sebesar 2x dan penaikan massa newtonian sebesar 2x (otomatis momentum linier juga naik 2x dong). Sedangkan si benda yang kita amati itu merasakan hal demikian juga terjadi pada kita (kita kan juga bergerak sebesar 87% kecepatan cahaya terhadap benda itu). Oleh benda itu, kita dilihat: semakin mampat, semakin berat dan semakin lemot semuanya dengan faktor 2x. Intinya, kita juga terlihat makin masif (alias males bergerak) karena terlalu tambun lah :P. Hal itu akan semakin parah dengan penggunaan kecepatan yang semakin mendekati kecepatan cahaya.

So, apa hubungannya dengan tuhan? :P woo lha, banyakk.. hehe,,

Jadi gini, le,, Dari penjelasan yang panjang lebar dan tinggi di atas, saya hanya ingin menerangkan bahwa dimensi, waktu dan materi itu pada hakekatnya tidak pernah ada. Ya ada sih, tapi ya enggak ada (gimana ya ngomongnya),, Itu seperti lagunya band Utopia: Dunia itu Antara Ada dan Tiada. Ciee.. Tapi ya memang begitulah. Waktu setahun saya, belum tentu setahun buat anda dan apa yang menjadi persepsi saya tentang dunia mungkin benar-benar bukan yang selama ini merupakan persepsi anda. Orang lain pun, saya, anda, dan orang-orang sekitar bisa jadi tidak pernah ada, dan dunia ini hanya mimpi karena lamanya waktu, dimensi dan massa adalah sesuatu yang memiliki nilai elastis dan bukan sesuatu yang kaku. Sejauh pengamatan dan praduga saya (ini hanya menurut persepsi saya sebagai ilmuwan awam), ketika manusia mengalami kematian maka "dia" akan bergerak dengan kecepatan teoritik cahaya. Yang artinya "dia" akan melihat dunia yang ditinggalkannya dengan faktor gamma tak terhingga alias dimensi menyusut ke nilai tak terhingga yang mengakibatkan volumenya menjadi nol (susutan dengan faktor tak terhingga-kali), waktu melemot tak terhingga yang artinya menjadi stagnan alias freeze (gampangane waktu untuk dia telah "hilang" karena semua pergerakan menjadi beku) dan massa newtonian-nya beserta material dunia-nya menjadi tak berhingga, yang artinya kita menjadi tidak mampu menggerakkan barang sekecil tahi lalat karena berapapun massanya, walaupun sebesar foton (atau atom aja deh biar lebih ilmiah), maka ya tetap mustahil. Apa yo anda bisa kalau saat ini menggerakkan lengan dan kaki anda dengan bebannya yang tak berhingga? tak berhingga itu artinya lebih berat dari satu milyar ton (1.000.000.000.000 kg) lho yaa :P. Intinya dunia menciut, waktu melemot dan benda menjadi semakin berat apabila kita mulai bertransformasi menjadi cahaya. Any question, please?

Well, sejak ngerti kenyataan itu maka saya cukup terpukul. Daripada bertanya menganai tuhan itu ada atau tidak, maka saya lebih mudah menanyakan pertanyaan prioritas terlebih dahulu: Apakah dunia ini ada, ataukah dunia ini tidak ada? Kalau ada kenapa baik waktu, ruang dan massa itu elastis hingga mampu menciptakan lubang hitam?? entahlah, sejak itu saya merasa hilang dari kejelasan yang selama ini saya percayai: bahwa saya itu ada. Anda berpikir begitu jugakah?

Nah, setahun telah berlalu dari saat-saat saya sadar dan mulailah saya kuliah di Jogja ini. Di kota yang sederhana ini saya mencoba berteman dengan banyak karakter. Mulai dari mahasiswa yang seneng seks bebas dengan pacarnya, pengkaji agama salafi, mahasiswa filsuf, atheis, pekerja keras, mahasiswa NII, pengusaha, orang-orang indigo dan ada pula si jenius ber-IQ 166, pokoknya intinya kenalan sama orang macam-macam lah. Yang jelas mereka semua ekstrem karena saya suka berdekatan dengan fenomena ekstrem diluar kebiasaan rata-rata manusia saat ini (kalau manusia dulu mungkin udah lumrah kali ya ngenal yang kayak ginian :P). Disini saya menemukan hal baru: bahwa sejauh apapun saya menjelaskan eksistensi tuhan, maka sejauh itu saya akan berhadapan dengan anti-tesanya: tuhan tidak pernah ada. namun kali ini, saya mencoba mengkorelasikannya lebih mendalam dengan pernyataan relativistik einstein dan fenomena-fenomena gaib yang sering saya temui semenjak kecil.

Selama saya berpikir, saya melakukan perjalanan ke berbagai tempat sesuai dengan kata hati saya karena saya hanya percaya pada "saya" pribadi, walaupun konsep mengenai "saya" sendiri tidak jelas apakah ada ataupun tidak. "Anggap aja usaha untung-untungan untuk menemukan kebenaran, minimal nggak bersikap pengecut lah dengan bunuh diri sebelum ada faktor eksternal yang membuatku mati akibat stress :P. Anggap aja kalau aku mati, dan kok ya kebetulan surga dan neraka itu ada, terus aku dijebloskan ke neraka karena aku nggak percaya tuhan, well,, anggap aja ketemu nasib sial. Minimal udah berusaha sebisanya :P", pikir saya sesimpel itu saja waktu itu. Dengan modal nekat dan untung-untungan, saya berusaha melakukan beberapa perjalanan di sekitar pulau jawa ini. Saya bertemu dengan bermacam-macam guru. Ada yang mampu membaca keinginan saya sebelum saya bertemu dengan beliau, ada pula yang memberikan pertanyaan-pertanyaan yang perlu saya pikirkan ulang. Pelan-pelan, dengan kepasrahan dan perasaan menyerah karena batin tersiksa terlalu lama, maka saya memilih untuk menyatakan "saya itu ada, karena saya bisa merasakan adanya diri saya". Walaupun saya tidak pernah mengerti bentuk saya seperti apa, karena saya yakin, bentuk tangan, wajah, badan saya hanya "bentuk kebetulan" yang belum tentu "manusia lain" "melihat" saya seperti apa yang saya lihat. Saya pun merasa sedikit lega dengan ke-menyerahan saya untuk mengakui bahwa saya ada, dalam ketidaktahuan bahwa manusia yang lain ada atau tidak karena bentuk itu adalah persepsi, sedangkan persepsi hanya "kebiasaan" manusia dalam meninjau alam makroskopik. Secara kuantum, tidak ada batas yang jelas antara otak dengan pembuluh darah, pembuluh dengan kulit, kulit dengan udara, udara dengan kulit orang lain, kulit orang lain dengan jantung orang lain, alias secara kuantum, seluruh entitas dalam alam semesta ini adalah satu karena semua terdiri atas atom, dan hanya sensasi manusia saja yang membuat semuanya berbeda dan termodularisasi. Kira-kira sama lah dengan sensasi warna yang pada dasarnya adalah gelombang elektromagnetik. Secara fisika kuantum, tidak ada bedanya badan saya dengan laptop thinkPad yang saya pegang ini, dengan permukaan bumi, matahari, bulan, galaksi, dan semua benda fisik yang ada di alam semesta ini. Ini hanyalah badan tempat bersemayamnya "aku" yang secara kebetulan diberikan kemampuan untuk menggerakkan sesuatu dalam batas-batas tertentu.

Jadi, semenjak saya memilih untuk mempercayai adanya "aku" dan merenungi tidak adanya "aku", maka saya menjadi mengenal bahwa tuhan itu ada, karena saya merasa demikian. Tidak perlu bertanya untuk menemukan kebenaran jawabannya, saya hanya merasakan dengan batin. Bagaimana jika salah? anggap saja nasib sial. Yang jelas, adanya tuhan itu menguntungkan buat saya. Saya merasa tuhan menciptakan dunia ini yang dipenuhi orang-orang yang patut saya perjuangkan. Tuhan menciptakan bentuk dengan sensasi seperti yang saya alami ini di dalam dunia dimana saya ditempatkan untuk hidup (saya tidak tahu apakah dunia saya sama dengan dunia anda). Tuhan menciptakan orangtua saya sebagai perantara bagi saya untuk sampai ke dunia ini sehingga saya bisa menyayangi ibunda saya dan menghormati almarhum ayah saya. Dan yang jelas, saya punya tempat mengadu. Andaipun konsep tuhan itu saya buat-buat, maka saya tidak bisa menjelaskan mengapa adanya dunia dengan berbagai bentuk dan fenomenanya mampu saya terima karena sejalan dengan keinginan logika dan ketenangan batin saya. Itu pilihan saya dalam hidup. Semenjak saya memutuskan untuk melepaskan diri dari kedengkian dan rasa was-was dari dunia ataupun ancaman akherat, maka saya mengenal sesuatu yang menciptakan saya. Tidak perlu banyak bukti, saya hanya percaya.

Saya mengenal bahwa sesuatu yang memiliki kekuatan itulah yang menciptakan bentuk saya. Baik bentuk badan saya maupun bentuk dunia menurut persepsi saya. Jika Dia tidak ada, maka sudah seharusnya saya dan seluruh dunia yang hidup dalam rekaman pikiran saya ini juga tidak ada. Secara mudah, daripada saya bertanya bahwa tuhan itu ada atau tidak, maka lebih baik menanyakan terlebih dahulu apakah saya ini ada atau tidak?. Kalau saya tidak ada, maka pencipta saya juga tidak ada. Jika saya memutuskan untuk ada, maka saya percaya bahwa sang pencipta entitas dan wujud saya ini juga ada. (dunia dan lain-lain akan mengikuti pernyataan ini) Sebenarnya, khusus untuk hal ini hanya bisa saya jelaskan dengan pertemuan langsung karena kata-kata memang selamanya tak akan pernah mampu menggambarkan makna.

So, pada akhirnya mempercayai tuhan atau tidak mempercayainya adalah sebuah pilihan hidup manusia. Ketika kita mempercayai bahwa "saya itu ada" maka "sang pencipta saya" pun juga seharusnya ada. Ketika saya memilih "saya tidak pernah ada" maka "sang pencipta saya" pun juga otomatis tidak ada. Monggo dipilih-dipilih. Yang jelas, urusan tentang tuhan adalah urusan kepercayaan, bukan kebenaran. Bagi saya, saya lebih mudah memahami bahwa "percaya" itu selamanya akan lebih tinggi derajatnya daripada "benar". Sejauh apapun bukti yang menunjukkan kebenaran, semuanya akan kita abaikan ketika kita tidak percaya. Sebaliknya, sekecil apapun bukti mengenai sebuah kebenaran, maka pastilah akan kita terima apabila kita percaya. Saya memilih untuk percaya, karena dengan percaya saya merasa beruntung dan mampu menjelaskan banyak fenomena gaib yang saya alami. Secara kasarnya: lha wong kenyataannya saya ini merasa hidup, kenapa saya harus memilih mati? (walaupun saya sejatinya ya tidak tahu dan tidak akan pernah tahu bahwa dunia ini ada atau tidak).

Sejak saat itulah saya memutuskan untuk menyatakan tuhan itu ada. Ketika terdapat tuhan yang memiliki bentuk perspektif yang mampu diindera oleh pancaindera saya, sedangkan pancaindera beserta informasi yang diterimanya belum bisa saya pastikan keabsahan entitasnya (alias, bahwa dunia itu belum jelas mutlak ada atau mutlak tidak ada), maka saya tidak pernah percaya bahwa itu adalah tuhan saya. Bahasa jermannya, "Lha wong dengan kemampuan saya saat ini saja belum mampu melihat "saya" yang sejatinya saya itu bentuknya seperti apa, kok saya mau nekat melihat bentuk tuhan". Bentuk badan saya sekarang ini 'kan yo cuman pemberian dan titipan. Sehingga, sejauh ini kebetulan belum ada tuhan yang mampu memberikan gambaran yang lebih memuaskan kepada batin saya selain gusti Allah karena tuhan selain gusti Allah entah jumlahnya yang terlalu banyak atau selalu digambarkan dalam bentuk fisik, membuat batin saya sulit menerimanya. Saya merasa "saya" ini tunggal dan saya diciptakan oleh sesuatu yang tunggal pula. Itu yang saya tangkap dari batin saya hingga saat ini. Tetapi, saya adalah orang yang selalu terbuka dengan sebuah pernyataan.

Minimal dengan percaya terhadap tuhan, saya bisa menjelaskan fenomena santet, layar laptop yang suka bergerak-gerak sendiri, sapu yang bergerak-gerak sendiri waktu digantung, fenomena genteng terbang diatas atap, serta banaspati-pocong dan kawan-kawannya. Khusus yang terakhir ini, saya tidak mengada-ada karena saya telah melakukan pengujian bersama beberapa "tim ahli". Ketika ada kuntilanak (yang ibunya punya lidah panjang itu) mendekat kepada saya, saya bersama 2 rekan saya yang lain juga merasakan hal yang serupa baik posisi maupun perwujudan mereka bahwa adek kunti yang kecil yang berambut panjang itu memang sedang mendekat kepada saya sambil saya juga dilihatin ibunya :P. Yang lain masih banyak sih, tapi intinya nggak semua yang loe liat pake mata itu bener dab! terdapat hal-hal di alam ini yang memang hanya bisa diindera menggunakan mata batin. Semua orang mampu melakukannya asalkan disertai guru dan berada dalam suasana batin yang tenang sehingga mampu menangkap gejolak/sesuatu diluar dirinya. Baik kejadian yang akan datang, kejadian masa lampau orang lain, kejadian di tempat lain, berpindah raga. Termasuk mengenali Tuhannya.

Akhir kata dalam tulisan saya ini, "Orang yang mati adalah orang yang tidak mengenal harapan dan kasih sayang. Saya memilih untuk hidup. Dan saya merasa harus memenuhi kewajiban saya untuk bersyukur terhadap sang pencipta segalanya"

Nah, bagi pembaca yang ingin mengerti bagaimana cara saya melakukan perjalanan hingga bertemu banyak guru, akan saya singgung di next chapter. Walaupun tidak bisa disampaikan secara langsung, namun semoga gambaran singkat dari saya ini bisa membantu anda dalam memutuskan untuk menerima ataupun menolak entitas tuhan yang akan mengiringi perjalanan kehidupan anda. Maturnuwun dhumateng sedaya kemawon kaliyan kawula nyuwun agunging samudra pangapsami bilih wonten lepat (Terimakasih kepada semua pembaca budiman dan saya meminta maaf yang sebesar-besarnya apabila terdapat kesalahan dari saya). Wassalam.