Visitor

Klenik

Hari ini saya ingin membahas tentang pengalaman saya mengenai klenik. Kebanyakan orang menganggap bahwa klenik merupakan suatu ritual gaib dimana dalam hukum islam pasti dijatuhi syirik. Apakah benar demikian?

Klenik & Syirik
Baiklah, berikut penjelasan menurut persepsi saya. Syirik bagi saya adalah menyekutukan gusti Allah baik menduakannya, menigakannya, dan sebagainya. Bahkan syirik yang paling parah adalah mengganti gusti Allah dengan sesuatu yang lain. Sekarang bandingkanlah dengan klenik. Klenik adalah suatu ritual dogmatis yang tidak terlogika untuk menghormati sesuatu yang lebih besar daripada manusia; kekuatan alam atau sejenisnya. Terkadang kerancuan dalam memahami hal ini kerap menimbulkan tindakan anarkis oleh segolongan masyarakat agama bergaris keras untuk membenarkan polah tingkah yang mengatasnamakan kebenaran dalam melibas perbuatan anggota masyarakat lain yang dianggap tidak sesuai dengan aturan kebenaran menurut logika mereka. Semua agama di dunia dan/atau kepercayaan pasti memiliki klenik karena klenik adalah jalan untuk berkomunikasi dengan sesuatu yang menguasai/lebih besar daripada manusia. Klenik adalah bahasa yang terwujud dalam tata cara untuk mendekatkan diri kepada sang pencipta/kekuatan yang lebih besar daripada manusia.

Dalam bahasa tersimpan makna. Adapun makna yang disampaikan oleh seseorang yang telah mengetahui suatu fenomena (merasakan sensasi fenomena) akan sangat terbatas apabila dijabarkan dalam kata-kata. Bahasa adalah matematika sedangkan fakta adalah statistika. Matematika dan statistika sendiri bagaimanapun adalah alat fisik yang penuh keterbatasan dalam mengungkapkan makna. Adapun menurut tata cara yang lebih saya anggap benar dalam menyampaikan informasi adalah menggunakan kenyataan umum bahwa sesuatu hal akan dapat disampaikan secara sempurna hanya apabila orang lain yang sedang kita ajak berkomunikasi setidaknya pernah merasakan sensasi (pengalaman merasakan) tentang hal yang sama dengan apa yang kita alami. Sehingga pada akhirnya, bahasa fisik menjadi sebuah bentuk formalitas dari bahasa hati yang telah menyatu sebelumnya. Seperti halnya bahasa cinta, manusia mampu mengetahui tanpa harus mengatakannya. Adapun perkataan hanya berfungsi sebagai formalitas saja.

Kembali lagi ke klenik. Menurut apa yang saya alami, klenik adalah ungkapan bahasa melalui perbuatan yang pada esensinya disampaikan dari generasi ke generasi melalui bahasa hati. Namun akibat adanya keterbatasan intepretasi baik dari segi pengetahuan maupun kemampuan batin dari para pendahulunya ke generasi setelahnya, maka bahasa hati untuk berkomunikasi dengan tuhan/sesuatu yang lebih besar daripada manusia tersebut berpotensi besar untuk berubah menjadi sesuatu hal yang bersifat dogmatis permanen akibat pemahaman mandiri tanpa penjelasan melalui bahasa hati. Saya percaya bahwa panggilan hati untuk meyakini sang pencipta sebenarnya ada dalam diri manusia sejak manusia terlahir ke dalam bumi, asalkan manusia bersedia untuk mengesampingkan imajinasi logika dan lebih memilih bahasa hati. Para pendahulu, dimana mereka hidup lebih prihatin daripada generasi setelahnya memiliki standar kemampuan batin untuk berkomunikasi dengan penciptanya/kekuatan diluar mereka. Hal ini dapat dilihat dalam riwayat sejarah manusia bahwa tidak terdapat satupun koloni manusia yang tidak memiliki peninggalan bangunan/peralatan artifisial untuk memuja dan menghormati tuhan/sesuatu diluar manusia.

Akibat adanya perbedaan keprihatinan itulah maka muncul kapasitas batin yang makin menurun dari generasi ke generasi, dimana kemampuan tersebut semakin ditumpulkan dengan manusia yang saling berlomba-lomba dalam mengasah logika. Saya tidak akan mengatakan itu salah, hanya mungkin saja itulah takdir manusia saat ini. Sehingga akibat dikesampingkannya hati, manusia banyak yang stres karena keterbatasan akalnya dalam memahami fenomena dan tuntutan dunia.

Menurut pemahaman yang telah saya dapatkan hingga saat ini, klenik -dalam agama atau kepercayaan apapun- tidak harus berasosiasi dengan syirik. Kenapa? karena kita tidak pernah mengetahui isi hati dan niat seorang manusia. Dengan ilmu setinggi apapun, seorang manusia hanya akan mampu melihat dan mengetahui badan fisik, keadaan dan parameter-parameter fisis lain, namun tidak dengan isi hati. Bukankah tuhan yang berkehendak mutlak dalam mengatur benar dan salah, atau baik dan buruk? Yang salah adalah yang tidak memikirkan tuhan lebih jauh dan hanya mengikuti mekanisme klenik sesuai yang terlihat dengan pancaindera dan didefinisikan lebih lanjut menggunakan logika sebagai mesin pemroses dari informasi-informasi mengenai pengalaman hidup yang dia dapatkan sebelumnya. Saya pernah bertemu dengan seseorang yang mampu membaca pikiran orang lain, berpindah sukma ke tempat lain, bahkan ada yang mampu diberi anugerah mengetahui secara detail bagaimana masa lalu seseorang hanya dari berjabat tangan. Nama lengkapnya, ibunya, masa kecilnya, semuanya. Saya pernah bertemu dengan seseorang jenisu yang bisa mengkalkulasi dengan kecepatan supertinggi dan lain sebagainya. Namun yang saya pahami, tidak ada diantara mereka yang mampu menebak niat dan isi hati seseorang. Bahkan bagi si pembaca pikiran sekalipun. Dari situ saya mendapatkan pelajaran berharga bahwa niat dan batin beserta semua gejolaknya adalah hak prerogatif dan privat bagi setiap jiwa. Manusia bisa merasakan 'adanya' kondisi batin tertentu dari seseorang dengan hati juga, namun tidak dengan 'bagaimana' dan 'sensasinya'. Bathin adalah hubungan langsung antara manusia dengan tuhan, yang hanya bisa ditularkan informasinya ke orang lain melalui bahasa batin pula. Itu pun tidak akan pernah mampu menggambarkan sensasinya.

Dari sinilah kesalahan pemindahan 'sensasi'/informasi terjadi dari generasi ke generasi. Ketika pemindahan informasi terjadi dari para generasi tua ke generasi muda, maka kenerasi muda yang kurang perihatin hanya akan mampu menangkap sedikit makna batin dari generasi tua, sehingga terjadilah penambahan yang dilakukan menggunakan ekstrapolasi dan interpolasi imajinasi logis. Sehingga selain dari prosedur yang semakin kacau maka terjadi pula entropi (kekacauan) dalam memahami. Timbullah dogma.

Logika vs. Kepercayaan
Agama apapun (aturan; kode; hukum; metode; ritual; klenik) pada dasarnya tidak pernah salah apabila tidak ditambah dengan imajinasi rasio serta kemampuan batin yang identik antar generasi ketika terjadi perguliran pemahaman. Hal ini disebabkan karena semua manusia memiliki bathin sebagai instrumen untuk mengenali tuhannya/kepercayaan kekuatan yang lebih besar dari dirinya, sehingga secara otomatis manusia pasti mengenalinya melalui perwujudan niat dan pengendapan dalam bathin. Saya percaya bahwa seseorang yang telah berpikir dan berusaha keras untuk bertemu dengan tuhan/sesuatu yang lebih besar darinya telah mengambil tindakan yang baik dan benar terlepas dari takdir kepercayaan yang akan dipeluknya kelak. Semua manusia yang telah menempuh perjalanan mencari tuhan/sesuatu yang lebih besar darinya dengan sungguh-sungguh pasti akan mengalami sensasi yang identik dan akan mengerti tanpa harus dijelaskan dengan kata-kata logis bahwa tuhan itu ada dalam persepsi komunal yang sama, sehingga klenik dan perbedaan agama merupakah hal yang lumrah dalam usaha mendekatkan diri ke sang pencipta. Adapun yang benar-benar salah menurut saya adalah seseorang yang hanya ikut-ikutan; tidak pernah berpikir serta mencari keuntungan dengan memanfaatkan efek chaos lingkungan menggunakan prinsip untung-untungan (coba-coba) dan hanya menggunakan pemahaman logis berdasar persepsi dirinya sendiri/komunitas lokal yang terisolir.

Logika
Nah, apa itu logika? menurut saya logika tidak lebih dari imajinasi rasio yang bertindak dengan nilai probabilistik dengan mekanisme abadi pengolahan sebuah informasi menjadi informasi lain yang tidak pernah akan diketahui hakekatnya. Saya sendiri sebagai seorang fisikawan ingin mengutarakan bahwa tindakan untuk menjustifikasi apa yang benar menurut alat ukur, kebiasaan dan pengalaman manusia sejak kecil adalah apa yang sesungguhnya terjadi merupakan sebuah kesalahan persepsi fundamental. Misalnya; apabila handphone anda digeser sampai ujung meja maka logikanya, handphone tersebut akan jatuh karena adanya interaksi gravitasi. Adapun bagi saya, akan lebih bijaksana apabila kita mengatakan bahwa handphone tersebut kemungkinan besar akan jatuh (dengan kondisi ceteris paribus; alias keadaan disekitar handphone terkendali dan kejadian tersebut dijalankan sesuai skenario umum). Kenapa kemungkinan besar? karena memang kenyataan yang saya temui mengindikasikan bahwa hukum-hukum fisika tidak pernah berlaku universal. Di daerah sulawesi, ada pembangunan mesjid yang mustoko (kepala mesjid)nya diangkat menggunakan do'a. Atau genting terbang di atap rumah yang sering ditemui warga gunung kidul, atau benda/seseorang yang melayang hanya berpijak kepasrahan total terhadap tuhan, sapu yang digantung bergerak-gerak sendiri, dan masih banyak sekali pengalaman empiris saya yang tidak pernah bisa dijelaskan dengan logika hukum fisika. Dan hal tersebut tidak akan pernah dimengerti apabila seseorang hanya menggunakan logika dan belum pernah merasakan sensasinya. Walaupun kebenaran tidak terletak dalam sensasi empiris, namun bagaimanapun sepanjang perjalanan hidup yang telah saya tempuh, sensasi empiris baik fisik maupun batin merupakan sumber informasi yang lebih tinggi derajat kebenarannya daripada dilandaskan atas logika.

Logika hanya akan saling memakan. Mungkin di satu tempat dan waktu yang terisolasi, dogma logika menjadi kepercayaan umum yang dianggap universal. Hal itu tidak akan mampu dibantah, karena apabila dibantah (anti tesa) maka akan muncul sebuah sintesa baru yang menghasilkan tesa yang lebih tinggi. Akhirnya antara tesa dan antitesa hanya akan saling bekejar-kejaran secara abadi layaknya seekor anjing yang berputar-putar ingin menggigit ekornya. Seperti pula pertanyaan sederhana; duluan mana, ayam apa telur? atau manusia itu hasil evolusi atau diciptakan dari ketiadaan? kira-kira hanya mainan jebakan seperti itu yang akan kita dapatkan. Kadang malah muncul fenomena paradoks yang sering membuat batin tidak pernah tenang.

Agama adalah jalan, bukan tujuan.
Kepercayaan merupakan bentuk komunikasi yang terletak pada bathin setiap insan, sedangkan kebenaran (menurut definisi modern) adalah relasi imajinatif dari fakta empiris (kejadian nyata) yang didasarkan atas nilai-nilai logis, yang semuanya terletak dalam akal. Dalam kenyataan di masyarakat, sebanyak apapun fakta, apabila seseorang tidak pernah percaya ya tetaplah tidak percaya; demikian sebaliknya, apabila seseorang terlebih dahulu meyakini sesuatu, maka sesedikit apapun fakta pastilah akan diterima dengan hati seluas samudera. Sehingga bagi saya, percaya adalah lebih tinggi derajatnya daripada benar. Kepercayaan terhadap tuhan hanya bisa diidentifikasi menggunakan bahasa bathin, dan tidak mungkin ditemukan dalam bahasa logika, sehingga muncul perwujudan yang bermacam-macam dalam persepsi kepercayaan yang sama. Dan itulah yang paling baik dan benar. Lantas, seperti halnya mengidentifikasi mengenai keberadaan tuhan, logika digunakan setelah kita percaya, bukan sebaliknya. Logika adalah powerful tools apabila kita mampu menggunakannya dengan baik setelah kita mampu berdamai dengan hati. Dan dari situlah muncul agama. Agama adalah jalan logis (klenik) untuk menapak langkah kepercayaan dalam batin dan bukan tujuan akhir. Tuhanlah tujuan akhir seorang manusia. Sehingga, adalah sebuah perbuatan yang tidak baik dan tidak benar apabila seseorang/sebuah kelompok menjustifikasi kegiatan klenik dari seseorang/masyarakat dan menyatakan orang yang dipersepsikan memiliki pendapat berbeda dengannya adalah syirik dengan asumsi logika karena manusia tidak pernah mengetahui niat dan isi hati manusia lain.

Dari apa yang telah kita bahas di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pencari tuhan itu berbeda dengan pencari kebenaran. Tuhan adalah kepercayaan. Dan untuk mengetahui jalan menuju tuhan (apapun agama anda, hanya kebetulan saja saya memilih islam), semua manusia membutuhkan guru. Bukan untuk menjustifikasi mana yang baik dan benar atau sebaliknya, namun untuk membimbing generasi setelahnya dalam merasakan sensasi yang sama (atau lebih tinggi) dalam menempuh jalan kepercayaan. Selebihnya, merupakan hak eksklusif seorang manusia untuk mengitepretasikan sensasi tersebut menjadi sesuatu yang baik dan benar atau jelek dan salah. Hanya tuhan yang lebih mengetahui apa itu benar dan salah. Siapa tahu, setelah seseorang merasakan sensasinya dalam menuju jalan kepercayaan, itu pun baru kulit karena ilmu yang diturunkan kepada manusia hanya seperti tetesan air yang dihadapkan dengan luasnya samudera, baik ilmu fisik maupun gaib. Tapi setidaknya manusia telah berusaha sekuat tenaga untuk mengerti. Well, Who's know. Sisanya serahkan saja terhadap yang telah menyusun takdir untuk kita. Betul? :)

Hanglaras Ilining Banyu, Angeli Ananging Ora Keli...